Salah satu bentuk amaliyah dalam
menjalankan perintah Allah SWT dan Rosul-Nya adalah pernikahan. Apabila seseorang
telah menikah, maka ia telah menyempurnakan setengah agamanya. Hal ini
diperkuat dengan sebuah riwayat yang menyatakan bahwa:
“Jika seseorang menikah, maka ia
telah menyempurnakan separuh agamanya. Karenanya, bertakwalah pada Allah pada
separuh yang lainnya.” (HR. Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman no. 5486. Dishahihkan oleh Syaikh Al
Albani dalam As Silsilah Ash Shahihah no. 625).
Sehingga jika pernikahan didasarkan
atas niat ibadah dan menjalankan perintah Allah SWT maka proses pembentukan
rumah tangga islami (takwin baitul muslim) pun terjadi. Dengan kata
lain, membangun rumah tangga menurut Islam tidak hanya sekedar membangun
hubungan suami istri dengan rasa cinta saja, namun pernikahan islami memiliki
tujuan membentuk keluarga sakinah mawaddah warahmah.
Nah, agar dapat mencapai tujuan
tersebut, hendaknya kita harus memiliki visi jauh ke depan, Sob! Salah satunya
yaitu memiliki perencanaan keuangan untuk keluarga yang jelas sesuai syariat
Islam. Ciri-ciri perencanaan keuangan syariah adalah proses yang dilakukan
sejalan dengan prinsip-prinsip syariah yang berorientasi pada dunia dan akhirat,
di antaranya mengatur arus kas, membuat tujuan keuangan, penggunaan
produk-produk syariah dan perencanaan waris.
Tujuan perencanaan keuangan adalah
agar pendapatan yang ada dapat diatur secara efektif, efisien dan penuh
keberkahan. Tujuan tersebut harus bersifat jelas, terukur, realistis, dan
memiliki batas waktu. Ada seseorang yang sudah merencanakan masa depannya jauh
sebelum menikah. Ia sudah memiliki rumah lengkap dengan perabotnya serta perlengkapan
penunjang lainnya. Namun, ada juga yang belum memiliki apa-apa sehingga
semuanya dirintis dari awal bersama-sama. Ada pula yang sudah mempersiapkan
berdua sebelum mereka menikah. Apapun proses awal yang dilalui, pada saat
berumah tangga,
persoalannya akan berbeda. Ini karena sebelum menikah tidak ada hak dan
kewajiban, semuanya dilakukan atas dasar kerelaan. Ketika telah berumah tangga, ada aturan syariat Islam yang
harus dipatuhi oleh masing-masing pihak, termasuk dalam perencanaan keuangan
keluarga.
Perencanaan keuangan keluarga sudah
bisa dimulai sejak hari pertama menikah, misalnya berapa anak yang diinginkan,
di mana akan tinggal hingga akhir hayat, pekerjaan apa yang harus ditekuni,
usia berapa akan naik haji, dan sebagainya. Jika seseorang menginginkan banyak
anak, maka sejak awal harus memiliki perencanaan keuangan yang matang, termasuk
perencanaan karir, misalnya mengikuti kursus atau menempuh pendidikan yang
lebih tinggi. Maka harus ada alokasi biaya yang disiapkan sejak awal
pernikahan. Jika ia memiliki usaha yang baru dirintis dan masih berskala kecil,
maka harus disusun rencana pengembangannya, termasuk persiapan tambahan
modalnya. Diharapkan dengan persiapan yang matang sejak awal, semua yang
dicita-citakan dapat terwujud sesuai dengan harapan tanpa ada kendala keuangan.
Produk-produk investasi syariah yang
dipilih hendaknya memenuhi prinsip halal dan thoyib, termasuk dalam menggunakan
hasil investasinya, mulai dari pemenuhan sandang, pangan, papan, edukasi,
kesehatan dan hiburan. Secara sederhana, perencanaan keuangan keluarga muslim idealnya
bisa dibuat seperti di bawah ini:
Namun demikian, hal ini tentunya bisa
berbeda-beda implementasinya pada setiap orang maupun rumah tangga. Hal ini
mengingat, setiap keluarga tentunya memiliki kondisi serta tujuan keuangan yang
berbeda-beda.
Zakat, infaq, dan shodaqoh adalah ruh
bagi keuangan keluarga muslim. Setiap muslim meyakini hanya dengan ZIS, harta
menjadi suci dan bersih karena sudah ditunaikan hak fakir miskin atas hartanya.
Dengan infaq dan shodaqoh setiap muslim percaya bahwa Allah akan
melipatgandakan keberkahan rizkinya.
Menabung/investasi, manfaatnya tidak dapat dirasakan
langsung dalam jangka pendek, namun memberikan manfaat yang besar untuk masa
yang akan datang. Tabungan itu ibaratnya dana cadangan atau dana darurat yang
pasti sangat dibutuhkan dalam kondisi tertentu. Agar dapat berinvestasi, maka
cicilan hutang sebaiknya tidak melebihi 30 % dari penghasilan karena sangat
berisiko terhadap keseimbangan keuangan keluarga.
Biaya hidup, bisa dihitung perbulan. Setiap
muslim harus bisa mengatur pengeluaran secara efisien sesuai dengan
kebutuhannya.
Pengalokasian keuangan sebagaimana
tersebut di atas juga bersifat fleksibel, disesuaikan dengan besar kecilnya
pemasukan dan pengeluaran, khususnya kebutuhan pokok rumah tangga. Dalam
kondisi lapang, alokasi untuk investasi mungkin dapat diperbesar, begitu juga
sebaliknya jika dalam kondisi sulit, alokasinya perlu disesuaikan.
Efisiensi juga dapat dilakukan dalam
rangka mengelola alokasi anggaran yang ada. Misalnya jika selama ini dalam
rumah tangga menggunakan jasa baby sitter atau asisten, maka
dikondisikan agar semua pekerjaan bisa diselesaikan bersama anggota keluarga
yang lain. Jika selama ini suami dan anak-anak makan siang dengan membeli di
kantor atau sekolah, maka mulai dibiasakan untuk membawa bekal dari rumah.
Contoh paling sederhana yang sering
terlupakan adalah melepas semua kabel listrik jika tidak digunakan. Hal-hal
kecil tersebut jika bisa dilakukan akan berdampak positif bukan hanya pada sisi
keuangan, namun juga pada pembiasaan sikap dan perilaku seluruh anggota
keluarga.
Jika segala upaya sudah dilakukan
namun masih terjadi defisit, maka ada dua hal yang bisa kita lakukan. Pertama
kita bisa menambah pendapatan atau mengurangi pengeluaran, apabila bisa
dilakukan kedua-duanya akan lebih baik lagi. Kedua, kita harus bisa
mengoptimalkan dana untuk investasi baik berupa harta benda maupun disektor
keuangan dengan tetap berprinsip sesuai syariah.
Oleh karena itu, perempuan bukan
hanya dituntut untuk pandai mengelola keuangan keluarga dalam lingkup domestik,
namun akan lebih baik lagi jika memiliki pula keahlian berbisnis atau
berinvestasi yang aman dan syar’i. Termasuk dalam hal berinfaq, Allah
mengajarkan agar berinfaq sesuai kemampuan, tidak terlalu boros (loman/royal),
ataupun terlalu kikir sebagaimana firman-Nya dalam QS. Al-Furqan ayat 67:
“Dan orang-orang yang apabila membelanjakan
(harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah
(pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.”
Komentar (0)